Rabu, 16 Juni 2010

Jubah Sihir Bukan Lagi Impian

Bagi penggemar novel dan film Harry Potter tentu tak asing dengan jubah sihir (magic cloak) mampu membuat orang menjadi tak terlihat bila memakinya. Pada beberapa film lain juga mengisahkan tentang benda-benda yang tak terlihat, seperti mobil milik agen rahasia Inggris, James Bond. Ketertarikan pada ketakterlihatan (invisibility) memang sudah belangsung selama ribuan tahun. Pada buku karangan Plato “Republic” dikisahkan tentang cincin yang tak terlihat.

Saat ini, cerita mengenai benda-benda yang tak terlihat bukanlah cerita fiksi ilmiah semata. Ilmuwan di Amerika Serikat telah mampu membuat material yang dapat membuat sesuatu menjadi tak terlihat. Para ilmuwan tersebut berasal dari University of California in Berkeley dan Lawrence Berkeley National Laboratory. Penelitian yang mereka lakukan juga didukung oleh America's National Science Foundation dan pihak militer Amerika Serikat.

Prinsip yang digunakan untuk membuat suatu objek menjadi tak terlihat sebenarnya cukup sederhana. Kita dapat melihat suatu objek karena ada cahaya yang jatuh pada objek tersebut dan mata kita menerima pantulan cahaya dari objek tersebut. Untuk membuat suatu objek menjadi tak terlihat, kita perlu mengarahkan cahaya pantulan tersebut agar tidak sampai ke mata kita. Peneliti dari California berhasil melakukan hal tersebut dengan suatu material yang disebut metamaterial. Metamaterial merupakan material dengan ukuran molekul yang sangat kecil (dalam satuan nanometer) yang dibuat dengan suatu proses yang disebut nanoengineering.

Dengan metamaterial, para peneliti membuat sebuah prisma khusus. Pada umumnya, sebuah prisma mempunyai beberapa bidang permukaan datar. Prisma biasanya mampu membagi sinar putih yang tak nampak menjadi warna-warni. Prisma dari metamaterial bekerja sebaliknya. Prisma tersebut membuat sinar warna-warni menjadi sinar putih.

Untuk membuat objek menjadi tak terlihat, para peneliti mendesain metamaterial menjadi bentuk seperti jaring ikan. Jaring tersebut terbuat dari kawat perak berukuran nano. Setiap kawat berukuran kira-kira sepuluh ribu kali lebih tipis daripada rambut manusia. Metamaterial ini sukses “menyembunyikan” objek yang digunakan dalam penelitian.

Sampai saat ini teknologi “menyembunyikan” suatu objek agar tak terlihat memang masih dalam tahap penelitian. Artinya, teknologi tersebut belum dapat diaplikasikan untuk tujuan praktis. Selain itu, teknologi ini juga masih sangat mahal. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan beberapa tahun ke depan teknologi ini sudah berkembang dengan baik. So, memiliki jubah sihir Harry Potter bukanlah sebuah khayalan belaka.

Kamis, 14 Januari 2010

Antara Originally atau Technically Virgin

Postingan ini merupakan hasil ‘diskusi’ saya dan dua orang kenalan saya (satu lelaki 32 tahun sudah menikah dan satunya lagi wanita 25 tahun belum menikah, keduanya mahasiswa S2 Sejarah). Entah bagaimana obrolan yang semula ngalor ngidul tidak karuan berubah menjadi ‘diskusi’ yang cukup serius. Saya tergerak untuk menuliskan postingan ini karena beberapa waktu lalu saya membaca sebuah artikel tentang betapa banyak para remaja yang ‘melepaskan’ keperawanannnya pada malam tahun baru. Fenomena seperti itu menarik untuk dicermati karena saat ini nilai keperawanan tampak begitu murah, jauh berbeda dengan beberapa abad silam.

Sebelum abad ke-19, ketika perkembangan sains dan teknologi belum begitu pesat, nilai keperawanan benar-benar dijunjung tinggi. Hal tersebut berlaku baik di belahan bumi bagian barat maupun bagian timur. Dalam film Robinhood: Prince of Thieves, seorang bandit musuh Robinhood yang ingin menodai Marion harus berjibaku berebut anak kunci guna melampiaskan birahinya karena kendati busana sang kekasih Robinhood sudah tuntas terlucuti namun niatnya terhalang sabuk keperawanan yang dikenakan Marion. Alhasil sang bandit pun gagal melaksanakan niatnya. Film tersebut merupakan gambaran masyarakat Eropa di abad pertengahan. Para perawan bangsawan dipersenjatai dengan chastity belt, yaitu sabuk keperawanan dari besi yang dilengkapi gembok dan lubang kunci untuk menjaga kesucian mereka. Benar-benar sebuah penjagaan dalam arti yang sesungguhnya.

Ternyata, penggunaan pelindung keperawanan juga terdapat di Indonesia. Permaisuri dan putri raja Surakarta pada zaman dahulu pun menggunakan badong untuk melindungi kesucian mereka. Badong mempunyai fungsi yang sama dengan chastity belt. Saat ini, keberadaan badong masih tersimpan rapi di Museum Keraton Surakarta.

Dalam novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal el Saadawi dituturkan mengenai kebiasaan masyarakat tradisional Arab mengarak potongan kain bernoda darah keperawanan seorang pengantin wanita pada malam pertamanya. Sebuah tradisi yang dilestarikan untuk menjunjung nilai sebuah keperawanan sebagai simbol peradaban moral. Tradisi semacam ini pun juga terdapat dalam beberapa suku tradisional di Indonesia, bahkan hingga saat ini. Akan tetapi, tradisi tersebut dapat dikatakan sebuah tradisi yang bersifat naif karena seorang pengantin perempuan bisa saja tidak mengeluarkan darah pada malam pertamanya. Dari sudut pandang medis, hal itu bisa saja terjadi karena hymen atau selaput daranya sangat alot. Hal sebaliknya juga bisa terjadi. Selaput daranya telah robek saat ia bersepeda, jogging, atau terjatuh karena selaput daranya begitu tipis.

Kondisi di atas memunculkan polemik mengenai arti keperawanan yang sesungguhnya. Dalam bahasa Inggris, kata keperawanan (virginity) berlaku bagi laki-laki maupun perempuan. Bagi laki-laki, virginity dapat diartikan sebagai keperjakaan. Secara tradisional, seseorang dikatakan perawan atau perjaka jika ia belum pernah melakukan hubungan seksual sama sekali. Jadi, seorang perempuan yang robek selaput daranya bukan karena hubungan seksual masih disebut perawan. Hal itu jelas berbeda dengan pengertian medis. Secara medis, keperawanan ditentukan oleh robek atau tidaknya selaput dara seorang wanita. Artinya, wanita yang selaput daranya robek karena terjatuh sudah tidak perawan lagi sekalipun ia belum pernah melakukan hubungan seksual.

Kedua pengertian di atas sulit dikompromikan karena dilihat dari kacamata yang berbeda. Bisa jadi seorang perempuan secara tradisional (originally) masih perawan tetapi secara teknis (technically) tidak atau sebaliknya. Kondisi itulah yang memunculkan istilah “gadis bukan perawan”. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi laki-laki. Laki-laki mungkin tidak dihadapkan dengan masalah originally virgin atau technically virgin karena fakta anatomis bahwa laki-laki tidak memiliki bekas ketika sudah tidak perjaka. Akan tetapi, terlepas dari hal tersebut, seorang laki-laki dapat pula dipertanyakan kadar keperjakaannya. Apakah sang lelaki juga originally virgin dalam artian tidak pernah berhubungan seks maupun aktivitas seks yang menjurus seperti onani, petting, atau seks oral? Atau ia hanya technically virgin yakni hanya tidak pernah berhubungan seks dalam artian senggama sementara yang lain sudah khatam dijalaninya?

Relevansi keperawanan dan keperjakaan sebagai standar moral dalam masyarakat saat ini mungkin sudah sangat luntur dibandingkan zaman kakek dan nenek kita dahulu. Sebagaimana sudah saya sebutkan di depan, banyak remaja sekarang yang dengan sukarela beramai-ramai melepaskan keperawanannya pada peristiwa-peristiwa tertentu, misalnya tahun baru, Valentine Day, atau pada saat perayaan kelulusan sekolah. Sungguh miris saat membaca buku Jakarta Undercover karya Moamar Emka. Di tengah masyarakat Indonesia yang dikenal religius, budaya free sex ternyata sudah berkembang begitu suburnya di kota-kota besar. Keperawanan yang bagi sebagian kalangan dianggap begitu sakral diobral begitu murah.

Terlepas dari semua itu, kita memang dibebaskan untuk memaknai hakikat keperawanan atau keperjakaan. Akan tetapi, harus kita renungkan bahwa pergeseran nilai keperawanan tersebut barangkali merupakan salah satu tanda akhir zaman yang kerap disitir Nabi Muhammad SAW. Pada zaman seperti ini, mempertahankan keimanan memang sangat sulit, layaknya menggenggam bara api di telapak tangan. Oleh karena itu, semua dikembalikan pada individu masing-masing. Sudah siapkah bekal kita untuk menghadapi akhir zaman???