Kamis, 10 Desember 2009

Menjadi Pribadi yang Unik

Banyak dari kita yang sering merasa minder atau kurang percaya diri karena sering dibandingkan-bandingkan dengan orang lain yang dianggap mempunyai “sesuatu yang lebih” daripada kita. Orang yang sering membanding-bandingkan kita dengan orang lain adalah orang-orang terdekat kita, terutama orang tua. Seringkali kita dengar kalimat, “Lihat Si A! Ujian matematikanya dapat 100, mengapa kamu hanya dapat 60?” atau “Adikmu saja dapat rangking satu, kamu masuk sepuluh besar saja tidak.”

Banyak orang tua tidak menyadari bahwa membanding-bandingkan anaknya dengan anak yang lain justru membuat sang anak semakin tidak percaya diri. Akibatnya, potensi yang dimiliki sang anak menjadi tidak terkelola dengan baik karena orang tua mengarahkannya pada kegiatan yang justru bukan menjadi keinginan dan potensinya. Tak jarang sang anak menjadi stres dan lebih memilih mencari pelampiasan dengan hal-hal yang kurang positif, seperti minuman keras dan narkoba.

Bagaimana kalau kita mengalami hal di atas? Jika kita sering dibanding-bandingkan dengan orang lain yang tidak sesuai dengan potensi dan kepribadian kita, hal pertama yang harus kita lakukan adalah menyakini bahwa setiap orang adalah unik. Tidak ada dua orang pun di dunia ini yang persis sama, bahkan kembar identik sekalipun. Tuhan Yang Maha Kuasa menciptakan setiap orang dengan kemampuan yang berbeda-beda.

Secara genetis, setiap orang mempunyai gen yang berbeda, kecuali dua orang kembar identik. Kita bisa sangat berbeda dengan saudara kandung kita, baik secara fisik maupun kemapuan, karena variasi genetik yang kita peroleh dari orang tua kita. Perhatikan fakta berikut! Dalam setiap sel tubuh manusia terdapat 23 pasang (46 buah) kromosom yang di dalamnya terdapat gen-gen penentu kehidupan kita. Sperma dan sel telur hanya mengandung separuh dari kromosom yang terdapat dalam sel tubuh, yakni 23 buah. Dengan begitu, setiap individu mampu menghasilkan 2^23 atau 8 388 608 kemungkinan variasi genetik dalam sperma atau sel telur. Proses penciptaan manusia yang diawali oleh pertemuan antara sperma dari ayah dan sel telur dari ibu menghasilkan 8 388 608 x 8 388 608 atau lebih dari 70 triliun kemungkinan variasi genetik pada anak-anaknya. Artinya, jika sepasang suami istri bisa mempunyai 70 triliun anak pun, semua anaknya akan mempunyai sifat yang berbeda-beda.

Dengan fakta di atas, kita tidak perlu lagi merasa cemas karena berbeda dengan saudara kita. Yakinlah bahwa Anda adalah pribadi yang unik. Kalau Anda tidak memiliki kelebihan yang dimiliki saudara Anda, janganlah berkecil hati karena potensi yang Anda miliki berbeda dengannya. Yakinlah bahwa Anda bisa menjadi lebih baik dengan potensi milik Anda sendiri.

Selasa, 08 Desember 2009

Altruistic Behavior

Saat ini, kata altruisme mungkin jarang kita dengar atau baca. Secara sederhana, altruisme dapat diartikan sebagai tindakan berkorban untuk orang lain tanpa menghiraukan kepentingannya sendiri. Dengan kata lain, altruisme merupakan kebalikan dari kata egoisme. Altruisme merupakan aspek dasar dalam berbagai macam kebudayaan dan agama. Perilaku yang sesuai dengan paham altruisme disebut perilaku altruistik (altruistic behavior). Paham altruisme sangat sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, yakni dalam semangat “gotong royong”. Semboyan “dahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi” merupakan salah satu cerminan paham ini dalam masyarakat Indonesia.

Altruisme harus dibedakan dengan perasaan kesetiakawanan dan kewajiban. Altruisme berfokus pada motivasi untuk membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Seseorang yang setia pada suatu oraganisasi, partai politik, atau orang lain dengan berharap mendapat sesuatu darinya tidak dapat dikatakan berperilaku altruistik. Perilaku altruistik yang paling mudah kita jumpai tentu dalam sebuah keluarga. Ayah dan ibu sebagai orang tua akan selalu bekerja susah payah untuk membahagiakan anak-anaknya. Tidak ada yang diharapkan oleh orang tua dari anaknya, kecuali melihat anaknya bahagia.

Dalam kehidupan sosial yang lebih luas, saling menolong dan bergotong royong dalam masyarakat juga merupakan bentuk perilaku altruisme. Contoh lain adalah membantu korban bencana alam, menyantuni fakir miskin dan anak yatim, dan membantu pembangunan jalan, rumah sakit, sekolah, dan lain-lain. Menariknya, perilaku altruistik juga dapat dijumpai pada binatang. Kita semua tentu mengetahui bahwa induk ayam rela mengerami telurnya selama 21 hari agar anaknya bisa menetas. Induk ayam mengorbankan kebahagiaan dirinya dengan berpuasa dan hanya makan sekali tiap hari.

Contoh yang jauh lebih menarik terdapat dalam koloni Tikus Mondok Telanjang (Heterocephalus glaber). Tikus Mondok Telanjang merupakan tikus yang hidup dalam lubang-lubang di tanah di Afrika Timur. Tikus jenis ini hampir tidak memiliki rambut. Tikus Mondok Telanjang mempunyai struktur sosial yang mirip dengan rayap, yakni dipimpin oleh seorang ratu, ada tikus yang menjadi pekerja, dan ada tikus yang menjadi tentara. Satu koloni bisa dihuni oleh 20 sampai 300 ekor tikus. Ketika lubang sarang mereka kedatangan musuh yang ingin memangsa mereka, misalnya ular, seekor tikus yang pertama kali mengetahui kejadian itu akan mencicit dengan keras untuk memberitahu anggota koloni lainnya agar menyelamatkan diri. Sementara itu, tikus tadi justru menghampiri calon pemangsanya sehingga ia pun dimangsa dan mengorbankan dirinya agar teman-temannnya selamat.

Hal yang sama terjadi pada Tupai Darat. Ketika seekor elang mendekati kawanan tupai, seekor tupai yang pertama kali menyadari kehadiran musuh akan menjerit dengan keras memperingatkan teman-temannya. Elang akan langsung menukik dan menyambar tupai yang menjerit sementara tupai yang lain berlari menyelamatkan diri. Perilaku kedua hewan di atas sungguh sangat mengagumkan. Mereka bahkan rela mengorbankan nyawanya demi keselamatan anggota keluarga dan teman-temannnya.
Masih ada beberapa perilaku altruistik yang ditunjukkan oleh beberapa jenis binatang. Bapak dan ibu penguin rela mengerami telur mereka secara bergantian selama 6 bulan di tengah dinginnnya badai salju. Seekor induk anjing seringkali “mengadopsi” anak kucing, tupai, bahkan harimau yang yatim. Kawanan lumba-lumba menolong rekan mereka yang terluka dengan berenang selama berjam-jam di bawahnya dan mendorongnya ke permukaan agar ia dapat bernapas. Serigala dan anjing liar akan membawakan daging hasil buruan kepada anggota kelompoknya yang tidak hadir saat penangkapan.

Kita sepatutnya dapat belajar dari perilaku hewan-hewan di atas karena dalam kehidupan modern saat ini, paham altruisme sudah mulai luntur. Paham-paham baru yang bermunculan, seperti materialisme, paganisme, dan hedonisme, secara perlahan-lahan tapi pasti menggusur altruisme dari kehidupan bangsa Indonesia. Hal tersebut tentu sangat ironis karena seharusnya kita tidak kehilangan identitas dan jati diri pada zaman modern seperti ini. Sudah saatnya manusia belajar dari perilaku binatang-binatang yang rela menolong tanpa pamrih. Jika semua manusia mampu mengembangkan perilaku altruistik dalam dirinya, bukan tidak mungkin dunia ini akan terbebas dari segala bentuk peperangan yang justru menghancurkan peradaban manusia sendiri.