Senin, 18 April 2016

Belajar dari Kesuksesan Korea Selatan : Strategi Pembangunan yang Jitu dan Mentalitas yang Maju

Ada satu tema yang menggelitik (dan memalukan) saat berbincang-bincang dengan orang Korea (Selatan), yakni hari proklamasi kemerdekaan. Tahukah Anda kalau proklamasi kemerdekaan Indonesia dan Korea hanya selisih dua hari saja? Proklamasi kemerdekaan Korea adalah tanggal 15 Agustus 1945 sedangkan Indonesia 17 Agustus 1945. Satu lagi faktanya, Korea dan Indonesia sama-sama memproklamirkan kemerdekaannya dari penjajahan Jepang. Akan tetapi, kalau kita bandingkan kondisi Indonesia dan Korea saat ini bagaikan bumi dan langit. Korea dengan segala kemajuannya berhasil menjadi negara sangat berpengaruh di dunia di berbagi bidang. Di bidang politik internasional, sekretaris jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa saat ini dijabat oleh Ban Ki-Moon yang merupakan mantan Menteri Luar Negeri Korea Selatan. Di bidang ekonomi, Korea Selatan merupakan salah sat negara anggota G20 dan produk domestic bruto (GDP)-nya adalah yang terbesar ke-11 di dunia. Di bidang budaya, K-Pop dan K-Drama menyebar secara luas ke seluruh dunia, sebuah fenomena yang disebut sebagai Korean Wave. Di bidang teknologi pun sangat mentereng. Samsung adalah produsen smartphone terbesar di dunia saat ini. Korea Selatan juga merupakan negara dengan kecepatan internet tercepat di dunia. Bagaimana dengan Indonesia? Kita masih disibukkan dengan konflik horizontal dan kegaduhan politik yang tidak pernah ada juntrungnya.

Bendera Korea Selatan
Pada awal-awal masa kemerdekaan, Korea dan Indonesia menghadapi masalah yang sama, yakni kemiskinan dan berbagai macam pemberontakan. Bahkan, Korea terpisah menjadi 2 pada tahun 1948 menjadi Republic of Korea (South Korea) dan Democratic People’s Republic of Korea (North Korea). Indonesia beruntung tidak sampai terpecah belah walaupun mengalami berbagai macam pemberontakan. Penduduk Korea bahkan banyak yang mengalami kelaparan saat itu. Indonesia pun menghadapi problem kemiskinan yang rumit setelah dijajah selama ratusan tahun. Ada satu perbedaan mencolok antara Korea dan Indonesia, yakni Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam sedangkan Korea hampir tidak punya. Akan tetapi, bangsa Korea tidak mudah menyerah oleh kondisi alam dan geografis yang tidak menguntungkan. Mereka berusaha memaksimalkan sumber daya yang terbatas hingga berhasil menjadi negara maju seperti saat ini.



Ada 2 faktor utama dibalik kemajuan yang dicapai Korea Selatan, yakni pilihan strategi pemerintah yang jitu dan mentalitas kebangsaan rakyat Korea yang tangguh. Pada masa awal kemerdekaan, pemerintah Korea Selatan memfokuskan perhatian pada pendidikan, pengembangan sumber daya manusia, dan penelitian dan pengembangan ilmu dan teknologi. Kebijakan tersebut juga dibarengi dengan pengembangan sektor industri generatif. Contohnya adalah industri baja. Dari baja kemudian dikembangkan menjadi industri otomotif, konstruksi, perkapalan, hingga perlengkapan rumah tangga. Pengembangan yang berkelanjutan kemudian menghasilkan industri-industri baru seperti elektronik, kimia, dan mekanik. Hasil dari kebijakan tersebut ekonomi Korea Selatan tumbuh 10% per tahun selama lebih dari 30 tahun berturut-turut. Periode 1962 sampai 1995 adalah masa-masa pertumbuhan ekonomi yang fenomenal, terutama pertumbuhan nilai ekspor yang mencapai 20% per tahun. Periode ini sering disebut sebagai Keajaiban di atas Sungai Han (Miracle on the Han River). Data tahun 2015, Korea Selatan menduduki rangking 11 negara dengan GDP terbesar di dunia dengan total US$1,392 triliun. GDP per kapita menempati posisi 28 dunia sebesar US$ 27512. Sementara itu, Human Development Index (HDI) sebesar 0,898 (very high) dan menempati posisi 17 dunia pada 2014. Perusahaan-perusahaan Korea begitu berkibar di kancah internasional, terutama Samsung, LG, dan Hyundai.

Selain kebijakan pemerintah yang jitu, mentalitas rakyat Korea Selatan juga merupakan faktor penting kemajuan bangsa. Berikut adalah beberapa mentalitas rakyat Korea Selatan yang bisa kita teladani.

Etos kerja tinggi

Tiada kesuksesan yang diraih tanpa kerja keras. Bagi orang Korea Selatan, pepatah tersebut benar-benar diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Para pekerja di Korea Selatan akan bekerja dengan sepenuh hati meskipun tidak diawasi oleh bos atau atasan. Mereka tidak akan pulang kalau target yang dibebankan padanya hari ini belum selesai. Mereka biasa pulang jam 11 malam bahkan sampai menginap di kantor. Saya pernah mengalami langsung bagaimana keras kepalanya pekerja di Korea Selatan dalam menyelesaikan tugasnya. Saat itu, besok paginya tim kami harus melaporkan perkembangan proyek ke CE (Chief Engineer), yang merupakan penanggung jawab tertinggi pada proyek yang sedang kami kerjakan. Otomatis kami harus membuat banyak laporan (report) dengan waktu yang terbatas. Seluruh anggota tim benar-benar mempersiapkan segala sesuatunya dengan sempurna, bahkan malam itu tidak pulang ke apartemen.

Contoh lain adalah hampir tidak ada pengemis dan pengamen. Saya pernah bertemu pengemis di pasar tradisional dan pegamen di pantai. Akan tetapi, dibandingkan dengan di Indonesia, jumlah pengamen dan pengemis di sana sangat sedikit. Mereka merasa malu dan tidak punya harga diri jika harus meminta dari orang lain. Mereka lebih memilih menjadi pemulung  atau petugas cleaning service daripada mengemis atau mengamen.

Di Korea juga banyak orang-orang yang sudah tua masih aktif bekerja. Hal ini cukup menarik karena kalau pun sudah pensiun dan tidak produktif lagi mereka bisa mendapatkan jaminan sosisal dari pemerintah. Namun, sebagian besar mereka tetap memilih bekerja. Salah satu profesi yang banyak digeluti para manula adalah sopir taksi. Hampir semua sopir taksi di Korea berusia lanjut. Sangat jarang sopir taksi yang masih berusia di bawah 40  tahun. Saya pernah iseng-iseng ngobrol dengan seorang sopir taksi, mengapa masih bekerja meskipun sudah tua dan jawaban yang saya dapat sungguh mengejutkan. Dulunya ia adalah pekerja kantoran dan telah pensiun. Ia tetap bekerja karena takut cepat mati.

Disiplin

Soal disiplin, orang Korea sama dengan orang Jepang. Sangat jarang ada karyawan terlambat masuk kantor atau siswa yang telat masuk sekolah. Bangun kesiangan, jarak rumah yang jauh, atau macet bukan alasan. Ketika sampai di kantor, seorang karyawan sudah dalam kondisi siap kerja. Sarapan, merokok, minum kopi, dan sebagainya dilakukan sebelumnya. Salah seorang rekan kerja saya kampung halamannya di Seoul dan bekerja di Changwon yang jaraknya sekitar 400 km, hampir sama dengan jarak Jakarta-Semarang. Setiap akhir pekan ia pulang ke Seoul dan senin pagi jam 8 pasti sudah tiba di kantor dan siap kerja. Ia berangkat dari Seoul jam 3 dini hari ke Busan dengan kereta api cepat selama kurang lebih 3 jam kemudian dilanjutkan naik bus ke Changwon selama sekitar satu jam.

Kedisiplinan masyarakat Korea Selatan juga dalam kehidupan umum, seperti membuang sampah pada tempatnya dan menggunakan fasilitas umum sebagaimana mestinya. Kota-kota di Korea Selatan sangat bersih, baik di trotoar, pusat perbelanjaan modern, terminal, halte bus bahkan di pasar tradisional. Saya punya pengalaman sedikit memalukan soal buang sampah. Pernah suatu kali saya makan permen sambil menunggu bus di halte. Dengan santainya saya jatuhkan bungkus permen begitu saja (kebiasaan orang Indonesia banget). Tiba-tiba seorang anak usia sekitar kelas 4 atau 5 SD menunjuk-nunjuk bungkus permen tadi sambil mengatakan sesuatu dengan cukup lantang. Walaupun tidak paham Bahasa Korea, saya langsung mengerti kalau dia marah karena saya buang sampah sembarangan. Dengan muka menahan malu, saya pun mengambil bungkus permen tadi dan membuangnya ke tempat sampah. Untunglah saat itu tidak banyak orang yang sedang menunggu bus di halte.
Salah satu pusat perbelanjaan modern di Busan. Rapi dan Bersih.
Di Indonesia, kursi prioritas di KRL seringkali justru ditempati oleh mereka yang muda dan sehat. Sementara orang-orang yang memang layak duduk di situ justru harus berdiri. Di Korea, hal tersebut tidak pernah saya temui. Meskipun tempat duduk prioritas kosong, orang-orang yang masih muda dan sehat lebih memilih berdiri. Kedispilinan dalam menggunakan fasilitas umum juga tercermin dalam hal antri. Kita bisa melihat orang-orang antri dengan tertib saat membeli tiket subway (kereta bawah tanah), membayar belanjaan, atau menggunakan fasilitas umum tanpa perlu diatur oleh petugas keamanan.

Nasionalisme tinggi

Masyarakat Korea Selatan sangat bangga akan identitas bangsanya. Meskipun kemajuan yang mereka peroleh merupakan hasil belajar dari barat, identitas nasional Korea tidak pernah ditinggalkan. Salah satu contohnya adalah penggunaan Huruf Hangul dan Bahasa Korea untuk komunikasi nasional. Kalau Anda berkunjung Korea, Anda akan menemui penunjuk arah, nama jalan, dan semua papan nama dengan Huruf Hangul. Tapi jangan khawatir kalau Anda tidak bisa membaca Huruf Hangul, petunjuk jalan utama dan fasilitas umum rata-rata mencantumkan huruf latin di bawah versi Hangul-nya.
Salah satu sudut Kota Changwon. Semua papan nama menggunakan Huruf Hangul.
Cinta produk dalam negeri

Industri Korea Selatan tidak akan maju kalau masyarakatnya tidak mau memakai produk-produk dalam negeri. Hampir semua mobil yang beredar di jalanan Korea Selatan adalah merk Korea seperti Hyundai, Kia, Daewoo, Sangnyong, atau Samsung-Renault. Merk mobil asing yang cukup banyak hanya Chevrolet. Begitu pula dengan motor. Merk-merk yang beredar kebanyakan hanya Daelim dan Hyosung. Bagaimana dengn mobil dan motor Jepang? Hampir tidak ada. Penjajahan Jepang di masa lalu menimbulkan sentimen tersendiri terhadap produk Jepang. Selain mobil, HP yang dipakai orang Korea juga sebagian besar merk Samsung dan LG. Apple merupakan merk asing yang cukup sukses merebut hati masyarakat Korea. Produk-produk elektronik lain seperti mesin cuci, kulkas, AC, setrika, microwave, hingga laptop hampir semuanya bermerk LG dan Samsung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar