Beberapa hari terakhir ini, media massa
nasional kembali mengangkat berita mengenai eksploitasi anak. Hal itu terjadi
setelah pada Hari Kamis (24/3/2016) Polres Jakarta Selatan menangkap 4 orang
pelaku eksploitasi anak di sekitar Blok M. Para pelaku menyewakan anak untuk
dipaksa mengemis, mengamen, atau menjadi joki 3 in 1. Jika menolak, mereka akan
dipukul atau ditampar. Salah satu korban eksploitasi bahkan bayi berusia 6
bulan. Bayi tersebut dibawa mengemis agar orang-orang yang melihatnya merasa iba
dan memberi banyak uang. Bayi akan diberi obat penenang agar tidak rewel saat
diajak mengemis.
Beragam reaksi masyarakat atas muncul atas
berita penangkapan pelaku eksploitasi anak tersebut, terutama para netizen.
Umumnya mereka bersyukur atas penangkapan tersebut, tetapi juga menyayangkan
mengapa baru sekarang dilakukan. Kasus eksploitasi anak untuk tujuan ekonomi
seperti itu memang bukan hal baru. Hampir di semua kota besar di Indonesia
dapat kita temui ibu-ibu mengemis dengan mengendong anak kecil yang tidak
pernah menangis atau anak-anak mengamen dengan menyodorkan amplop kecil bertuliskan
permintaan belas kasihan untuk biaya hidup dan sekolah. Tempat bereka
beroperasi biasanya di bis kota, terminal, halte, stasiun, dan perempatan jalan
yang ramai.
Sebagai orang yang tinggal di kota besar,
tepatnya Serpong, Tangerang Selatan, saya pun sering menyaksikan pemandangan di
atas. Akan tetapi, baru sekali ini memergoki “pengasuh”nya. Dua hari sebelum
kasus ini ramai diberitakan, Selasa (22/3/2016) sekitar pukul 06.20 saya
menyaksikan langsung praktik eksploitasi anak di perempatan German Center, BSD.
Seperti biasa, saya menunggu bus
jemputan kantor di halte sebelah Lapangan Sunburst. Di sebelah saya ada seorang
ibu paruh baya. Awalnya saya mengira ibu tersebut sedang menunggu bus atau
angkot. Tiba-tiba seorang anak laki-laki berusia sekitar 4 ~ 5 tahun
menghampiri dan memanggilnya “Mami” sambil menyerahkan segepok amplop. Si anak
berkata dengan nada takut bahwa ia baru dapat sedikit. Saya tidak ingat persis
kata-kata si anak karena sangat terkejut. Si ibu menggumamkan sesuatu sambil
memasukkan amplop-amplop ke dalam tas cokelat yang dibawanya kemudian mengambil
segepok amplop yang lain. Sejurus kemudian ia menyerahkan amplop-amplop yang
baru tersebut ke si anak. Si anak langsung kembali ke perempatan menyelip di
antara mobil-mobil yang sedang berhenti di lampu merah. Saat itu, saya sudah
sadar dari keterkejutan dan menyadari bahwa peristiwa barusan adalah salah satu
bentuk eksploitasi anak. Saya sempatkan untuk memotret si anak walau sudah
menjauh. Si ibu juga berhasil saya ambil gambarnya. Dengan diam-diam tentunya.
Tak lama kemudian bus jemputan datang. Ketika saya sudah duduk di dalam bis,
saya sempatkan untuk menengok si ibu. Saya terkejut untuk kedua kalinya. Di
samping si ibu duduk ada seorang anak perempuan sedang tertidur lelap di bangku
halte. Pakaian dan tubuhnya tampak kotor. Sayang, saya tidak sempat memotretnya
karena bus keburu jalan.